“RUMAH KOPI SINGA TERTAWA" NYA YUSI AVIANTO PAREANOM
Oleh.
Siti Aulia Masropah, 180110130053
Yusi
Avianto Pareanom adalah seorang Cerpenis dan kritikus sastra yang lahir di
Semarang. Beliau merupakan Lulusan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Pernah bekerja sebagai wartawan di majalah Forum Keadilan dan
Tempo. Saat ini berkhidmat di Penerbit Banana. Selain menulis fiksi dan
nonfiksi, ia juga menerjemahkan dan menyunting karya-karya penulis asing. Ia
terlibat dalam karya kerjasama novel grafis Ekspedisi Kapal Borobudur: Jalur
Kayu Manis dan Eendaagsche Exprestreinen.
Di
sini saya akan mencoba menghubungkan latar belakang kehidupan beliau dengan
salah satu karyanya yang terkenal yaitu “Rumah Kopi Singa Tertawa”, judul
tersebut merupakan judul cerpen yang terbit pada Koran Tempo tanggal 10 April
2011. Namun dilain waktu “Rumah Kopi Singa Tertawa” tersebut menjadi judul
sebuah kumpulan cerpen karya Yusi Avianto itu sendiri.
Pada
awalnya, saya angat sulit menemukan informasi dan biografi beliau, kecuali
hanya sekelumit cerita yang telah dicantumkan di atas. Hingga kahirnya
sayamenemukan beberapa wawancara beliau tentang karya-karyanya. Dan bebarapa situs yang memuat tentang wawancara
beliau akan saya cantumkan di bawah ini.
Pertama
adalah Kutipan wawncara Bincang Fiksi
dengan Yusi Avianto pareanom, yang saya akses pada tanggal 20 September
2014 pukul 21.14 di http://othervisions.wordpress.com/2013/04/10/bincang-fiksi-dengan-yusi-avianto-pareanom/.
Dalam kutipan wawancara tersebut saya menemukan hal-hal menarik seperti
berikut.
Tentang eksplorasi
cerpennya yang mirip ‘main-main’, lari ke sana kemari, bereksperimen dengan
diksi dan mengaduk-aduk perasaan, penuh humor kadang sinis dan sarkasme,
berkembang karena bahan bacaannya yang lengkap, baik buku-buku sastra dunia
maupun hikayat kacang atom. Coba saja tanya apa rahasianya menulis, pasti
jawabannya banyak-banyaklah membaca buku dari beragam karya pengaran dalam dan
luar negeri. Ditambah pengalaman beberapa tahun sebagai jurnalis di Forum
Keadilan dan Tempo, mampulah dia mengobrak-abrik cerita.
Begitu banyak
buku yang dibaca, dan merasa memiliki kemampuan menerjemahkan dan menyunting
yang ‘pas’, maka dengan penuh idealisme dan risiko, dia mendirikan ‘Banana
Publishing’. Penerbitan ala Kebun Pisang ini banyak menerbitkan buku-buku karya
penulis dunia, seperti ‘The Catcher in The Rye’ karya JD Salinger, ‘Pencuri
Anggrek’ karya Susan Orlean, dan ‘Million Dollar Baby’ karya FX Toole.
Karya-karya
dunia, yang menurut saya, tak banyak yang membacanya, apalagi anak muda.
Mungkin malah lebih banyak yang membaca tetralogi novel Twilight Saga dan The
Host karya Stephen Meyer, atau trilogi novel Hunger Game karya Suzanne Collins.
Maka dari itu, menerbitkannya saya anggap penuh risiko.
Selain
dari kutipan wawancara tersebut, saya menemukan kembali informai yang saya kira
dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam proses penghubungan karya ini,
yaitu dari situs wawancara Kineruku dengan Yusi (http://kineruku.com/wawancara-yusi-avianto-pareanom/)
yang saya akses pada tanggal dan jam yang sama. Hal menarik tersebut adalah
seperti berikut.
Dari mana cerita-cerita ajaib, rada
absurd, terkesan fantastik tapi tetap membumi, dengan selera humor yang aneh di
buku Rumah
Kopi Singa Tertawa berasal?
Cerita-cerita
itu bermula dari apa yang saya lihat dan baca, atau dengan kata lain
pemantiknya adalah keseharian yang berlangsung di depan mata ataupun peristiwa
besar yang terjadi di belahan dunia sana, yang bisa saja terjadi sekian puluh
tahun yang lalu.
“Rumah
Kopi Singa Tertawa” sendiri lahir dari kejengkelan. Dalam cerita-cerita pendek
Indonesia dengan setting kafe, yang sering terjadi adalah si
protagonis duduk di pojokan, melamunkan seseorang, lalu datang pengunjung baru
yang menarik minatnya, si protagonis plirak-plirik tak karuan lalu
membayangkan sekian skenario di kepalanya, tetapi tak pernah ada tindakan
lanjutan. Jangankan itu, dialog saja disimpan dalam hati sehingga
suasana kafe mirip malam kudus yang sunyi senyap. Padahal, justru di kafe atau
rumah kopilah kemeriahan dan keriuhan terjadi, sering kita dengan potongan
percakapan menarik tanpa tahu konteks atau juntrungannya. Omong-omong, saya
membuat versi Inggrisnya, lho. Awalnya sih sekadar ingin mengalihbahasakan,
tapi kenapa harus berhenti di situ. Ini ibaratnya rumah kopi yang sama pada
hari yang berbeda.
Meski
pada awalnya saya kurang memahami apa maksud dari cerpen “Rumah Kopi Singa
Tertawa” tersebut, namun setelah saya membaca beberapa wawancara sang penulis
di atas, saya sedikit mendapatkan pencerahan bahwa penulis memanglah seorang
memiliki sikap kritis dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Baik hal kecil
sampai pada hal gawat sekaligus. Seperti maksud dan tujuan dari ditulisnya
cerpen ini, seperti yang dipaparkan beliau daiatas bahwa sesungguhnya beliau
ingin menampilkan kesan berbeda dari cerita-cerita yang memiliki latar tempat café. Yusi ingin menampilkan realita
esungguhnya dari keadaan warung kopi yang selalu ramai dengan membrikan
gambaran dialog dengan permeja pada cerpen tersebut.
Lalu
hubungannya dengan kehidupan pembaca ialah dari segi gaya bahasa yang digunakan
dan cara penyampaiannya yang ringan namun membutuhkan daya piker yang kuat. Beliau
selalu ingin menampilkan realitas sesungguhnya, bukan hanya cerita yang seru
dan menarik banyak pembaca namun ternyata sagat kurang dalam segi mutu. Mungkin
beliau mengharapkan dengan cerpen ini, pembaa sadar bahwa dunia cerita tak
harus sellau sepenuhnya rekaan, lihat dan sambungkanlah pada realitas yang ada
agar pembaca tidak membohongi pembaca sepenuhnya.
Dan
sau hal yang sangat saya kagumi dari sosok Yusi ini ialah dari ungkapan beliau
yang berbunyi: “Banyaklah membaca buku-buku, agar kita dapat menciptakan sebuah
karya yang luar biasa”.
Dan
bagi saya, Yusi Avianto Pareanom merupakan penulis yang mampu benar-benar
menampilkan kesan Out Thr Box.
Komentar
Posting Komentar