Rainissa dan Awan (Kisah Cinta Hujan terhadap Awan)

 Oleh. Siti Aulia Masropah

“...Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat
diucapkan awan kepada hujan yang menjadikan tiada” Sapardi Djoko Damono



Masih sangat aku ingat, hari itu hujan turun dengan rintik-rintik, setelah sebelumnya ia turun dengan lebat. Aku duduk sendiri di halte bus, entah menunggu apa? Entah menunggu siapa? Tetapi seingatku saat itu aku tidak sedang dalam keadaan sedih ataupun terpuruk. Aku hanya ingin duduk di sini, di halte ini. Oh ya namaku Rainissa, usiaku dua puluh tahun, dan aku sedang duduk di semester 3 di salah satu universitas terkemuka di kotaku.

Waktu berlalu seolah merangkak, aku berada di sini sejak pukul 3 sore dan sekarang baru pukul 3 lewat 15 menit. Jalanan setelah hujan begini sangatlah sepi hampir menandingi kesepian dalam lubuk jiwaku. Punggungku pegal, lalu aku berdiri hanya sekedar untuk merenggangkan badanku.

“Buk!!!” suara tumbukan itu sangat keras, ada sesuatu atau seseorang yang menubruk diriku, sakit sekali.

“Haduh sorry mbak!!! Gak sengaja, saya lagi buru-buru soalnya” Kata seseorang yang telah bediri dihadapanku sambil menolongku untuk berdiri

“Kalau jalan matanya dipasang dong, udah tahu ada orang lagi berdiri disini” kataku kesal seraya berdiri

“Iya mbak, aku minta maaf aku gak sengaja sumpah deh”, katanya lagi, dan saat kutatap wajahnya aku sangat kaget melihat pesona diwajahnya. Dia tampan sekali,

“Ya sudah lain kali hati-hati dong” kataku ketus, menyembunyikan

“Terima kasih mbak, saya harus segera pergi”, Katanya lagi seraya bergegas pergi, namun sesaat dia berhenti dan kembali berbalik kearahku “ Apakah kita akan bertemu kembali?” Tanyanya tulus

“hah...” aku hanya bisa terbengong

“Ah ya sudahlah, semoga suatu saat kita kan dipertemukan kembali”, Katanya lagi sambil terus berlari entah kemana

“iya, aku berharap kita kan pertemukan kembali”, Harapku dalam hati, ya Aku

Aku tidak pernah percaya cinta pada pandangan pertama, tapi kali ini rasanya berbeda sangat berbeda. Setelah kejadian itu, aku selalu duduk termenung di halte bus itu, halte bus yang sama, dalam jam yang sama. Namun dudukku kali ini bukan tanpa tujuan seperti yang sebelumnya, kini aku berharap dapat bertemu lagi dengan dia, seseorang yang telah mencuri hatiku.

Hari ini hujan turun rintik-rintik, aku duduk sendiri di halte bus. Sesekali aku melihat ke kanan dan kekiri seolah menanti seseorang, dan terkadang aku pun melihat ke dalam kubangan air yang berada di bawahku. Ya... sudah tiga bulan berlalu sejak kejadian itu dan aku masih selalu saja duduk di sini menantinya, berharap kembali ditabrak olehnya, berharap kembali melihat wajahnya yang memelas saat meminta maaf, kembali melihat matanya yang sayu berkharisma, wajahnya... ah berharap melihat semua tentangnya. Namun, dia? Dia siapa? Aku tidak tahu, bahkan hanya sekedar nama pun, aku tidak pernah tahu?

Waktu seolah berjalan lambat, sejak dari jam 3 sore aku berada disini dan sekarang baru menginjak pukul tiga lebih limabelas menit. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sini. jalanan terasa sepi, bahkan bus atau kendaraan umum lainnya pun tidak terlihat berkeliaran. Aku berjalan ke kiri dan kekanan, lalu aku kembali melihat bayanganku sendiri di dalam air kubangan yang berada di bawah kakiku. Dan...

“Hai... sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya” Kata seseorang

Aku tidak menjawab, aku hanya mencoba fokus pada bayangan selain diriku yang ada di kubangan itu. Sepertinya aku tidak asing dengan wajah itu. Aku pernah melihatnya, tapi di mana? benarkah dia? Tapi tidak mungkin, setelah saat itu dia tidak pernah terlihat lagi di sekitar sini. Untuk menjawab semua rasa penasaranku, akhirnya aku pun memberanikan diri mengangkat muka untuk memastikan siapa sebenarnya sosok yang telah berdiri di depanku.

“ Namaku Awan”, Katanya sambil menjulurkan tangan kepadaku

“Oh,,, aku Rain, Rainnisa”, kataku gugup ini benar-benar dia. Seseorang yang Aku tunggu selama tiga bulan ini ada di hadapanku. Dan kini aku tahu namanya, Awan.

“Gak nyangka yah kita dapat bertemu lagi di sini, oh ya sekali lagi aku minta maaf soal kejadian waktu itu” Cerocosnya panjang lebar

“I...iya aku juga gak nyangka, hmm gak apa-apa kok lagian itu udah lama banget aku saja hampir lupa”, Kataku

“Iya sih, tapi setelah kejadian itu, aku jadi kepikiran kamu terus”

“Hah apa?” Jawabku sedikit tersentak

“Eh enggak,, enggak apa-apa”, katanya terdengar gugup

“Oh... “, Aku sedikit kecewa, tadinya aku berharap dia mengulangi kata-katanya tadi. Bukan aku tidak mendengar jelas, namun hanya ingin memastikan apa benar yang Rintik telah berubah menjadi hujan deras, dan tanpa aku sadari hari mulai gelap dan aku harus bergegas untuk pulang.

Aku menoleh kepada Awan yang sejak tadi ada di sampingku asik dengan sebuah novel yang aku kira cukup populer. Judul novel itu sangat aku kenal, novel yang mengilhami dan membuat aku rela menunggunya setiap hari di halte ini. Namun apa daya waktu tidaklah berpihak padaku. Karena setelah dia berada di dekatku jarum jam seolah berlari dan ingin segera menggusurku untuk cepat berpisah dengannya. Ingin rasanya aku berlama-lama di sini, di sampingnya walau

“Awan”, Kataku memaksakan “Hari sudah mulai malam aku harus segera pulang” Kataku kepadanya

“Oh iya, tapi hujan nampaknya semakin deras Rain”, katanya seraya menoleh padaku “ Apa kamu membawa payung atau kamu mau aku antar?” tawarnya tulus

“Tidak usah Awan, aku bisa pulang sendiri”, kataku berbohong, padahal aku sangat senang atas tawarannya tadi

“Tidak apa-apa, kan gak baik membiarkan perempuan cantik pulang sendirian saat hujan seperti ini, apalagi hari hampir malam begini”

“Hmm,, ya sudah kalau tidak merepotkan”, Kataku seraya berdiri

“Ya sudah ayo!” Katanya seraya membuka jaket dan memayungiku dengan jaket itu.

Sungguh sangat romantis apa yang dia lakukan padaku saat ini, aku bahagia sekali kami berdua berjalan berdampingan, sangat dekat. Jika aku boleh meminta, ingin rasanya jarak antara Halte dan Rumahku sangat jauh. Dan hujan tidak berhenti dengan cepat, kenapa? Karena aku ingin berada disampingnya lebih lama lagi. Ah Tuhan aku rasanya aku ingin melayang. Aku Tiba-tiba dia berhenti lalu meanatapku penuh makna.

“Rain, aku suka sama kamu” katanya

“apa?” kataku tersentak

“Aku suka sama kamu Rainnisa. Maaf aku telah lancing, tapi semua ini terjadi tanpa aku duga. Aku suka sama kamu sejak aku menabrak kamu di halte itu, sejak pertama aku melihat wajah kamu, sejak pertama aku mendengar suara kamu, sejak...”

“Kamu tidak bercanda kan Awan? Kalau iya kamu suka sama aku sejak dulu, kenapa kamu tidak pernah menemui aku lagi, kenapa menghilang setelah hari itu”

“Aku minta maaf Rain, sebenarnya setiap hari setelah kejadian itu aku selalu teringat padamu. Tapi apa daya keadaan tidak memungkinkan aku untuk bertemu kembali denganmu. Rain ingatkah kamu saat pertemuan itu aku sedang dalam keadaan terburu-buru” Katanya syarat permohonan aku untuk mengerti dirinya “Karena hari itu aku harus Segera sampai ke stasiun kereta api untuk pergi ke Surabaya untuk tugas kuliah selama tiga bulan”, Jelasnya panjang lebar

“Tau kah kamu Awan, aku pun jatuh cinta pada pandangan pertamaku, aku jatuh cinta sejak pertama aku bertemu kamu. Dan tau kah kamu Awan, sejak saat itu setiap pukul tiga sore aku sengaja duduk di halte itu, hanya untuk menanti kamu, berharap kejadian waktu itu terulang, tapi kamu tidak pernah muncul Awan. Aku kangen kamu, tapi dulu aku tidak tahu apa-apa tentang kamu, bahkan hanya sekedar nama pun.

“ Sudah Rai, jangan diteruskan yang penting sekarang aku ada di sampingmu.

Dan aku janji aku tidak akan membiarkanmu menungguku lagi tanpa kepastian di Halte itu” Katanya penuh pengertian.

Aku terdiam menunduk, apa artinya semua ini tuhan. Apa penantian dan doa ku selama ini benar-benar terjawab dan terkabul. Tuhan. Terasa kedua belah tangan .Awan merangkulku, hangat sekali sampai hujan yang semakin deras, dan Malam yang semakin gelap tak lagi aku rasakan.

“Aku mencintaimu Rainnisa” Bisiknya

“Aku juga mencintaimu Awan”

Aku mencintainya dengan sederhana, sesederhana pertemuan kami. Aku mencintainya dengan sesederhana perjumpaan kami untuk yang kedua kali. Aku teringat akan bait sebuah puisi romantic dari penyair Sardji Djoko Damono “aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang yang tak pernah disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Namun kini awan takkan lagi menyesal terhadap hujan, karena awan telah mampu mengisyaratkan cinta itu terhadap hujan (Rainnisa), dan Hujan tidak akan lagi membiarkan Awan pergi, karena Ia akan selalu mengikatnya dengan cinta sederhana, sesederhana pertemuan mereka berdua.

Jatinangor, 23 September 2014
Mengenang Cinta yang tak sempat tersampaikan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ku temukan Kembali #1

Kekagumanku akan Dirimu adalah Inspirasiku,

Hai, aku kembali ....