Cacatan Perkuliahan Pengantar Ilmu Sastra
9. Bekal Memahami Sastra.
- Kepekaan
- Kemampuan berpikir kritis
- Pengetahuan tentang sastra, bahasa, dan latar
belakang sosial – budaya
Sastra pada dasarnya merupakan produk olah intelektual dalam wujud yang lain (“ tanda di atas tanda”)
- Bahasa adalah sistem tanda,
Ø
Kata dalam makna konotatifnya(makna kias) adalah fungsi primernya.
10. penciptaan satra
11. Sarana primer sastra
- Sarana primer sastra adalah bahasa – pemahaman sastra dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari pemahaman sistem bahasa.
- Sistem bahasa menyangkut aspek fonologi (tata bunyi), morfologi (tata bentuk kata), sintaksis (tata kalimat), dan semantik ( tata makna).
- Keunikan bahasa sebagai sarana primer satstra, tidak bersifat netral – sebelum digunakan ia sudah merupakan sistem yang bermakna.
12. Penggagas konsep bahasa sebagai sistem tanda
- Ferdinand de Saussure (swiss, 1839-1913)
- Pengertian dasar ilmu bahasa Saussure, dikotomi (pertentangan ) langue – parole dan signifiant – signifie
- Tiga
jenis tanda didasarkan pada hubungan antara penanda (signifiant) dan petanda (
signifie) {C.S. Pierce; AS).
- Ikon (icon)
- Indeks (index)
- Simbol (symbol)
CONTOH IKON
INDEKS
Symbol
13. kekhasan bahasa sastra
- Selalu berada dalam ketegangan antara norma (bahasa) dan kebebasan pengarang
- Tegangan itu tercermin dalam proses defamiliarisasi deotomatisasi bahasa
- Fakta: bahasa sastra bersifat poly – interpretable ; “maksudnya begini, bilangnya begitu”
Catatan : tugas membaca cerpen clara seno gumira ajidarma
CLARA ATAWA WANITA YANG
DIPERKOSA
oleh Seno Gumira Ajidarma
Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi*) – tapi aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Di hadapanku duduk wanita
itu. Rambutnya dicat merah. Coklat sebetulnya. Tapi orang-orang menyebutnya
merah. Padahal merah punya arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki
pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.
Jadi, aku tidak perlu percaya
kepada wanita ini, yang rambutnya sengaja dicat merah. Barangkali isi kepalanya
juga merah. Barangkali hatinya juga merah. Siapa tahu? Aku tidak perlu percaya
kepada kata- kata wanita ini, meski ceritanya sendiri dengan jujur kuakui
lumayan mengharukan.
Dia bercerita dengan bahasa
yang tidak mungkin dimengerti. Bukan karena bahasa Indonesianya kurang bagus,
karena bahasa itu sangat dikuasainya, tapi karena apa yang dialami dan
dirasakannya seolah- olah tidak terkalimatkan. Wajahnya yang cantik sarat
dengan luka batin yang tak terbayangkan. Aku hampir-hampir terharu bahkan
sebelum dia bercerita. Tidak pernah bisa kubayangkan bahwa manusia bisa
mengalami beban penderitaan seberat itu justru karena dia lahir sebagai
manusia. Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak nyambung.
Kata-kata bertebaran tak
terangkai sehingga aku harus menyambung-nyambungnya sendiri. Beban penderitaan
macam apakah yang bisa dialami manusia sehingga membuatnya tak mampu berkata-kata?
Maka cerita yang akan kau
dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah bertahun-tahun aku
bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan itu tidak pernah sama
dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit
menjadi menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik
menjadi subversif — pokoknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan.
Maka, kalau cuma menyambung
kalimat yang terputus-putus karena penderitaan, bagiku sungguh pekerjaan yang
ringan.
***
Api sudah berkobar di
mana-mana ketika mobil BMW saya melaju di jalan tol. Saya menerima telepon dari
rumah. ”Jangan pulang,” kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah
dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica,
dan Sinta, adik-adikku, terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana.
”Jangan pulang, selamatkan diri kamu, pergilah langsung ke Cengkareng, terbang
ke Singapore atau Hong Kong. Pokoknya ada tiket. Kamu selalu bawa paspor kan?
Tinggalkan mobilnya di tempat parkir. Kalau terpaksa ke Sydney tidak apa-apa.
Pokoknya selamat. Di sana kan ada Oom dan Tante,” kata Mama lagi.
Saya memang sering ke luar
negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi perusahaan Papa yang nyaris
bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk
tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan
kerusuhan. Papa marah-marah. ”Kita tidak punya uang untuk membayar buruh.
Selain produksi sudah berhenti, yang beli pun kagak ada. Sekarang ini para
buruh hidup dari subsidi perusahaan patungan kita di luar negeri. Mereka pun
sudah mencak-mencak profitnya dicomot. Sampai kapan mereka sudi membayar
orang-orang yang praktis sudah tidak bekerja?”
Saya masih ngotot. Jadi Papa
putuskan sayalah yang harus mengusahakan supaya profit perusahaan patungan kami
di Hong Kong, Beijing, dan Macao diperbesar. Tetesannya lumayan untuk
menghidupi para buruh, meskipun produksi kami sudah berhenti. Itu sebabnya saya
sering mondar-mandir ke luar negeri dan selalu ada paspor di tas saya.
Tapi, kenapa saya harus lari
sekarang, sementara keluarga saya terjebak seperti tikus di rumahnya sendiri?
Saya melaju lewat jalan tol supaya cepat sampai di rumah. Saya memang mendengar
banyak kerusuhan belakangan ini. Demonstrasi mahasiswa dibilang huru-hara.
Terus terang saya tidak tahu persis apa yang terjadi. Saya terlalu tenggelam
dalam urusan bisnis. Koran cuma saya baca judul-judulnya. Itu pun maknanya
tidak pernah jelas. Namun, setidaknya saya yakin pasti bukan mahasiswa yang
membakar dan menjarah kompleks perumahan, perkotaan, dan mobil-mobil yang
lewat. Bahkan bukan mahasiswa pun sebenarnya tidak ada urusan membakar-bakari
rumah orang kalau tidak ada yang sengaja membakar-bakar.
Saya tancap gas. BMW melaju seperti
terbang. Di kiri kanan jalan terlihat api menerangi malam. Jalan tol itu sepi,
BMW terbang sampai 120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan
segera tiba di rumah. Tapi, di ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar
sekali menghentikan mobil. Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak
dibenarkan berdiri di tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya. Saya
menginjak rem, tidak langsung, karena mobil akan berguling-guling.
Sedikit-sedikit saya mengerem, dan toh roda yang menggesek aspal semen itu
tetap mengeluarkan bunyi Ciiiiiiitttt! Yang sering dianggap sebagai petanda
betapa para pemilik mobil sangat jumawa.
Setelah berhenti, saya lihat
ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
”Buka jendela,” kata
seseorang.
Saya buka jendela.
”Cina!” ”Cina!” Mereka
berteriak seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat berpikir, kaca
depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya
orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya
dengan lahir sebagai Cina?
”Saya orang Indonesia,” kata
saya dengan gemetar.
Braakk! Kap mobil digebuk.
Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar seperti karung
dan terhempas di jalan tol.
”Sialan! Mata lu sipit begitu
ngaku-ngaku orang Indonesia!” Pipi saya menempel di permukaan bergurat jalan
tol. Saya melihat kaki-kaki lusuh dan berdaki yang mengenakan sandal jepit,
sebagian tidak beralas kaki, hanya satu yang memakai sepatu. Kaki-kaki mereka
berdaki dan penuh dengan lumpur yang sudah mengering.
”Berdiri!” Saya berdiri,
hampir jatuh karena sepatu uleg saya yang tinggi. Saya melihat seseorang
melongok ke dalam mobil. Membuka-buka laci dashboard, lantas mengambil tas
saya. Isinya ditumpahkan ke jalan. Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat
alis, sikat bulu mata, lipstik, HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai
nonton bersama pacar saya kemarin. Dompetnya segera diambil, uangnya langsung
dibagi-bagi setengah rebutan. Sejuta rupiah uang cash amblas dalam sekejap.
Tidak apa-apa. Mobil masih bisa dikendarai dengan kaca pecah, dan saya tidak
perlu uang cash. Di dalam dompet ada foto pacar saya. Orang yang mengambil
dompet tadi mengeluarkan foto itu, lantas mendekati saya.
”Kamu pernah sama dia?”
Saya diam saja. Apa pun
maksudnya saya tidak perlu menjawabnya.
Plak! Saya ditampar. Bibir
saya perih. Barangkali pecah.
”Jawab! Pernah kan? Cina-cina
kan tidak punya agama!” Saya tidak perlu menjawab.
Bug! Saya ditempeleng sampai
jatuh.
Seseorang yang lain ikut
melongok foto itu.
”Huh! Pacarnya orang Jawa!”
Saya teringat pacar saya. Saya tidak pernah peduli dia Jawa atau Cina, saya
cuma tahu cinta.
”Periksa! Masih perawan atau
tidak dia!” Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi
tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang
masing-masing memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya
ditarik. Saya menyepak-nyepak. Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki
saya.
”Aaaahhh! Tolongngng!” Saya
menjerit. Mulut saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak
mulut saya itu nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan
meremas-remas tubuh saya.
”Diem lu Cina!” Rok saya
sudah lolos….
***
Wanita itu menangis. Mestinya
aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa terharu kalau membaca roman picisan
yang dijual di pinggir jalan. Tapi, menjadi terharu tidak baik untuk seorang
petugas seperti aku. Aku harus mencatat dengan rinci, objektif, deskriptif,
masih ditambah mencari tahu jangan-jangan ada maksud lain di belakangnya. Aku
tidak boleh langsung percaya, aku harus curiga, sibuk menduga kemungkinan,
sibuk menjebak, memancing, dan membuatnya lelah supaya cepat mengaku apa
maksudnya yang sebenarnya. Jangan terlalu cepat percaya kepada perasaan.
Perasaan bisa menipu. Perasaan itu subjektif. Sedangkan aku bukan subjek di
sini. Aku cuma alat. Aku cuma robot. Taik kucing dengan hati nurani. Aku hanya
petugas yang membuat laporan, dan sebuah laporan harus sangat terinci bukan?
”Setelah celana dalam kamu
dicopot, apa yang terjadi?”
Dia menangis lagi. Tapi masih
bercerita dengan terputus-putus. Ternyata susah sekali menyambung-nyambung
cerita wanita ini. Bukan hanya menangis. Kadang-kadang dia pingsan. Apa boleh
buat, aku harus terus bertanya.
”Saya harus tahu apa yang terjadi
setelah celana dalam dicopot, kalau kamu tidak bilang, apa yang harus saya
tulis dalam laporan?”
***
Saya tidak tahu berapa lama
saya pingsan. Waktu saya membuka mata, saya hanya melihat bintang-bintang. Di
tengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib saya? Saya
masih terkapar di jalan tol. Angin malam yang basah bertiup membawa bau sangit.
Saya menengok dan melihat BMW saya sudah terbakar. Rasanya baru sekarang saya
melihat api dengan keindahan yang hanya mewakili bencana. Isi tas saya masih
berantakan seperti semula. Saya melihat lampu HP saya berkedip-kedip cepat,
tanda ada seseorang meninggalkan pesan.
Saya mau beranjak, tapi
tiba-tiba selangkangan saya terasa sangat perih. Bagaikan ada tombak
dihunjamkan di antara kedua paha saya. O, betapa pedihnya hati saya tidak bisa
saya ungkapkan. Saya tidak punya kata-kata untuk itu. Saya tidak punya bahasa.
Saya hanya tahu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk urusan bisnis. Kata
orang, bahasa Cina sangat kaya dalam hal menggambarkan perasaan, tapi saya
tidak bisa bahasa Cina sama sekali dari dialek manapun, kecuali yang ada
hubungannya dengan harga-harga. Saya cuma seorang wanita Cina yang lahir di
Jakarta dan sejak kecil tenggelam dalam urusan dagang. Saya bukan ahli bahasa,
bukan pula penyair. Saya tidak tahu apakah di dalam kamus besar Bahasa
Indonesia ada kata yang bisa mengungkapkan rasa sakit, rasa terhina, rasa
pahit, dan rasa terlecehkan yang dialami seorang wanita yang diperkosa
bergiliran oleh banyak orang –karena dia seorang wanita Cina. Sedangkan pacar
saya saja begitu hati-hati bahkan hanya untuk mencium bibir saya. Selangkangan
saya sakit, tapi saya tahu itu akan segera sembuh. Luka hati saya, apakah harus
saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya yang akan membela kami? Benarkah kami
dilahirkan hanya untuk dibenci?
Saya tidak bisa bergerak
sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutupi tubuh
saya dengan kain.
”Maafkan anak-anak kami,”
katanya, ”mereka memang benci dengan Cina.”
Saya tidak sempat memikirkan
arti kalimat itu. Saya bungkus tubuh saya dengan kain, dan tertatih-tatih
menuju tempat di mana isi tas saya berserakan. Saya ambil HP saya, dan saya
dengar pesan Papa: ”Kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah
sampai di Hong Kong, Sydney, atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu
Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah
diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat.
Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini masih
berguna. Rasanya Papa ingin mati saja.”
***
Dia menangis lagi. Tanpa
airmata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja dia tergeletak di kursi. Ia hanya
mengenakan kain. Seorang ibu tua yang rumahnya berada di kampung di tepi jalan
tol telah menolongnya. ”Dia terkapar telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua
itu. Aku sudah melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia
berteriak, ”Satu lagi! Hari ini banyak sekali perkara beginian.
Tahan dia di situ. Jangan
sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai ketahuan wartawan dan LSM!”
Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek kembali.
”Jadi kamu mau bilang kamu
itu diperkosa?”
Dia menatapku.
”Padahal kamu bilang tadi,
kamu langsung pingsan setelah … apa itu … rok kamu dicopot?”
Dia menatapku dengan wajah
tak percaya.
”Bagaimana bisa dibuktikan
bahwa banyak orang memperkosa kamu?”
Kulihat di matanya suatu
perasaan yang tidak mungkin dibahasakan. Bibirnya menganga. Memang pecah karena
terpukul. Tapi itu bukan berarti wanita ini tidak menarik. Pastilah dia seorang
wanita yang kaya. Mobilnya saja BMW. Seorang wanita eksekutif. Aku juga ingin
kaya, tapi meskipun sudah memeras dan menerima sogokan di sana-sini, tetap
begini-begini saja dan tidak pernah bisa kaya. Naik BMW saja aku belum pernah.
Aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya –apalagi kalau dia Cina. Aku
benci sekali. Yeah. Kainnya melorot, dan tampaklah bahunya yang putih….
”Jangan terlalu mudah
menyebarkan isyu diperkosa. Perkosaan itu paling sulit dibuktikan. Salah-salah
kamu dianggap menyebarkan fitnah.”
Di matanya kemarahan
terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk bercerita, memang menunjukkan
dia wanita yang tegar.
”Saya mau pulang,” ia
berdiri. Ia hanya mengenakan kain yang menggantung di bahu. Kain itu panjangnya
tanggung, kakinya yang begitu putih dan mulus nampak telanjang.
”Kamu tidur saja di situ. Di
luar masih rusuh, toko-toko dibakar, dan banyak perempuan Cina diperkosa.”
”Tidak, saya mau pulang.”
”Siapa mau mengantar kamu
dalam kerusuhan begini. Apa kamu mau pulang jalan kaki seperti itu? Sedangkan
pos polisi saja di mana-mana dibakar.”
Dia diam saja.
”Tidur di situ,” kutunjuk
sebuah bangku panjang, ”besok pagi kamu boleh pulang.”
Kulihat dia melangkah ke
sana. Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya nampak menerawang. Dia sungguh-sungguh
cantik dan menarik, meskipun rambutnya dicat warna merah. Rasanya aku juga
ingin memperkosanya. Sudah kubilang tadi, barangkali aku seorang anjing,
barangkali aku seorang babi — tapi aku mengenakan seragam. Kau tidak akan
pernah tahu siapa diriku sebenarnya. Masalahnya: menurut ilmu hewan, katanya
binatang pun tidak pernah memperkosa.
Tentu saja tentang yang satu
ini tidak perlu kulaporkan kepada pimpinan. Hanya kepadamu aku bisa bercerita
dengan jujur, tapi dengan catatan — semua ini rahasia. Jadi, jangan
bilang-bilang.
Jakarta, 26 Juni 1998
*) Menggunakan istilah dari
novel Saman, “aku seorang burung
Komentar
Posting Komentar